Paradoks : Semakin kita membenci, semakin mirip kita dengan yang dibenci
Aku suka memperhatikan orang berbicara, berkata-kata, menimbang-nimbang maksud dari rangkaian kalimat mereka. Dan aku menemukan satu hal yang sampai saat aku menulis kata ini, aku tetep belum bisa mengungkap maknanya.
Aku menemukan sebuah kisah menuju..paradoks..
“semakin kita membenci seseorang, maka semakin mirip kita dengan orang tersebut.”
Sari bercerita dengan teman-temannya penuh dengan geletupan benci tentang seseorang, sebut saja namanya Resi. Di sini, Resi memang sosok begitu menyebalkan. Seperti bara api di gemericiki minyak tanah. Teman-temannya pun saling bersautan mengungkapan cacian mereka. Menyenangkan, seperti aku menikmati ekspresi mereka. Satu kata yang terlontar berulang-ulang dari mulut si Sari, “shit! Reshit! Resi shit!”
Di lain waktu dan di lain keadaan, Sari memiliki masalah. Disini, Sari tegak di posisi yang sama seperti Resi, orang yang sempat dia umpat. Dan lagi-lagi aku berada diantara orang-orang yang mengumpat, seperti juri, aku diberi kesempatan untuk menilai. Aku mendengar kata-kata yang sama, kata-kata familier, kata yang sangat nikmat disebut berulang-ulang. Yap, kali ini, Sari yang mendapat embel-embel “Sari shit!” dari temannya.
Aku bener-bener geli. Baru beberapa hari yang lalu aku dengan jelas dan hapaal betul sewaktu Sari mengejek Resi dengan kata shit. Lancar, lugas, dan terdengar sangat nikmat serta khitmad mendengarnya. Dan sekarang aku mendengar kata yang sama tertuju pada Sari. Seandainya Sari tau hal ini, apa yah yang terlintas dipikirannya. Itu ngebuat aku ngeri, apa yang aku ucapkan, apa yang aku perbuat kepada orang lain akan tertuju bukan hanya padanya tapi kepada diriku sendiri.